Kamis, 03 Juni 2010

Léng (Karya: Alm. Bambang Widoyo SP)

TENTANG “LENG”

Pasalnya, Leng garapan lama atau baru dari sisi cerita tetaplah potret teriakan tak berdaya dari orang-orang yang tergusur, bahkan orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari kuburan keramat Kiai Bakal.

Ya! Leng pada hakikatnya adalah cerita tentang orang-orang yang terjebak dalam pusaran sebuah lubang yang bengis.

Pusaran itu, acap kali begitu rakus dan tak pilih-pilih ketika hendak menelan mangsanya ke lubang, sebelum melumatnya, bahkan tanpa menyisakan sejarah.

Secara spesifik, lewat lakon itu Bambang Widoyo Sp seolah-olah ingin meneriakkan rakusnya industrialisasi dan arus kapitalisme global. Ia bicara mengenai si kapital besar yang selalu menjadi sang pemenang dan orang-orang tak bermodal yang selalu hanya berstatus pecundang, korban tanpa nama

II

Kerudung kain putih yang tampak baru itu menyelubungi pasarean Kiai Bakal, sebuah makam yang dikeramatkan di selatan Kota Solo. Makam yang selalu dikunjungi berbagai kalangan: pedagang besar-kecil, pejabat lokal-pusat, selalu datang meminta berkah sang Kiai. Dan belakangan, makam itu semakin ramai oleh berbagai pengaduan, khususnya dari warga desa di sekitar.

Ketenteraman pedesaan terganggu karena kehadiran pabrik yang makin lama makin besar dan menciptakan suara-suara yang bergemuruh. Selain itu, mereka juga menghadapi kesewenang-wenangan pemilik pabrik, pemegang kekuasaan di wilayah itu yang telah disahkan oleh penguasa lokal dan pusat. Kekuasaan yang bisa menggusur tanah warga dan memecat siapa saja, bahkan "menghilangkan" siapa pun yang berani menolak kehendak sang majikan.

Itulah bagian dari pementasan sandiwara bahasa Jawa yang disajikan Teater Gapit dengan lakon Leng karya almarhum Bambang Widoyo Sp. alias "Kentut" pada 28, 29, dan 30 Juli, di Teater Arena Taman Budaya Surakarta. Inilah usaha grup tersebut untuk menggerakkan tubuhnya setelah pementasan terakhirnya pada 1997, sekaligus memperingati seribu hari meninggalnya pendiri dan sutradara itu. Selama 6-7 tahun usaha mereka untuk hadir di tengah-tengah lingkungannya selalu gagal. "Restu" dari para sesepuh grup tak kunjung muncul.

Kali ini mereka hadir dengan dua sutradara, Pelog Sutrisno dan Joko Bibit Santosa, yang juga anggota lama Teater Gapit, musik garapan Yayat Suhiryatna dan Mack Fulan, dan artistik didukung Henky Rivai. Boleh dikatakan, hampir semua anggota Gapit hadir dan mendukung. Satu-satunya tambahan adalah seorang pemain, Meong Pour, sosok yang memerankan Janaka. Di luar dia, beberapa pengiring musik.

Lakon itu ditulis pada awal 1980-an dan telah dipanggungkan belasan kali di Solo, Semarang, Salatiga, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Lakon yang lahir saat sebuah rezim dengan ambisi meluap-luap menerapkan berbagai politik ekonomi industri di wilayah pedesaan di Jawa, khususnya di Jawa Tengah, tanpa mempertimbangkan tatanan dan nilai-nilai tradisi dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Dari konteks itulah Leng menjadi suara dari wilayah yang paling dalam yang sangat terasa menggigit dan menggebarkan tanpa bersikap sloganistik.

Dari lakon itu kita menyaksikan pengangguran yang makin menumpuk, pelacuran, penggusuran tanah, dan—yang terpenting—hubungan sosial makin retak. Sebuah dunia yang terguncang dan berantakan, yang menciptakan kemarahan seorang Bongkrek (Tesi Bangun Santosa), mandor yang telah dipecat yang juga tanahnya ikut digusur. Sementara itu, Pak Rebo (Pelog Sutrisno), juru kunci makam, sadar betul akan posisi pentingnya selaku birokrat penghubung pengunjung makam dengan "dunia lain". Sayang, permainannya terasa gagap dan tenggelam oleh permainan Bedor (Jarot Budidarsono) dan Mbok Senik (Wahyu Cunong Widayati) dan Kecik, sang pelacur (A.M. Katri). Tapi yang paling terasa mengganggu adalah tata lampu yang ingin dilihat dan tampak berjalan sendiri, seperti juga musik yang terlalu ingin didengarkan.

Berbagai kekurangan terjadi pada pementasan ini. Mungkin karena pelbagai keinginan tampak berjalan secara individual, masing-masing membawakan dirinya tanpa niat untuk memahami mereka sebagai sebuah komunitas. Ini jelas membutuhkan waktu, setelah jeda sekian lama.

Kehadiran kembali Teater Gapit barangkali bisa dianggap sebagai tanda makin beragamnya kecenderungan kehidupan seni pertunjukan sekarang. Mereka berusaha menekankan kedekatan pada lingkungan melalui bahasa Jawa "jalanan" sehari-hari yang terasa "kasar" oleh sementara orang Jawa. Misalnya umpatan nakte (anak lonte), asu (anjing). Begitu juga tema garapannya yang senantiasa memiliki keterkaitan kental dengan kondisi sosio-historis, kultural-lingkungannya. Musik pilihannya, misalnya, dekat dengan telinga masyarakatnya, keroncong dan karawitan.

Terakhir, dari Gapitlah kita mungkin bisa memahami salah satu jenis "realisme" pemanggungan yang tampil dengan "gaya Jawa" yang lain. Gaya yang telah mengadopsi berbagai kemungkinan perkembangan seni peran dan elemen kesenian lainnya—sebagaimana berbagai kecenderungan di wilayah lain Indonesia yang tak bisa begitu saja disimpulkan secara serampangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar