Kamis, 03 Juni 2010

Tipe / Jenis Karya Teknis Pemanggungan Léng (Oleh: Dicky Panca Aulia)

Leng adalah sebuah lakon karya Bambang Widoyo Sp, yang ditulis pada tahun 1986. Ini adalah naskah panggung yang dipentaskan di atas panggung dengan memperhatikan kaidah-kaidah dramaturgi dan teori-teori pertunjukan teater yang sedang berkembang. Dalam memvisualisasikan sebuah teks dibutuhkan seorang kordinator atau pemimpin yang tugasnya mengarahkan para anggota (aktor dan kru teknik) dalam memproses teks tersebut. Pemimpin tersebut biasa mendapat sebutan dengan nama Sutradara. Sosok sutradara inilah yang bertugas untuk mengelolah timnya dalam menyikapi teks yang akan dipentaskan.

Pada karya seni teater kali ini, penulis mengambil posisi dalam jabatan sebagai sutradara. Dimana penulis menyutradarai sebuah nakah dengan lakon Leng karya Bambang Widoyo Sp. Lakon ini menggunakan dialog berbahasa Jawa. Lakon tersebut dipentaskan dengan konsep teater modern berbahasa jawa. Teater modern diawali dengan bentuk teater realis, sebuah pertunjukan yang merepresentasikan realita keseharian dalam masyarakat. Penciptaan pertunjukan ini berdasarkan teori dramaturgi yang dikembangkan penulis menurut kondisi lapangan saat proses kreatif berlangsung.

Berpijak dari target yang akan dicapai dalam memvisualisasikan lakon Leng, penulis (sutradara) menyutradarai lakon Leng dalam bentuk teater realis. Dialog berbahasa Jawa yang tertulis pada lakon dan perkembangan bentuk teater yang semakin berkembang, penulis membawa pertunjukan ini dalam konsep teater modern berbahasa Jawa. Pada akhirnya sebuah pertunjukan teater di sajikan di sebuah panggung melalui sebuah proses kretif dalam menerapkan teknik penyutradaraan yang cocok untuk lakon tersebut.

Teknik Countantin Stanilavsky

Teknik penyutradaraan Countantin Stanilavsky mementingkan sukma, dia menciptakan metode akting dan menggunakan kehidupan wajar sebagai seni pentas, mencetak karakter aktor sesuai dengan aslinya. Dalam teori ini dipusatkan pada pengembangan watak dan dunia panggung yang realistis. Para aktor diajarkan untuk memanfaatkan “Memori Afektif” agar dapat secara wajar menggambarkan emosi seorang watakseseorang n. Untuk melakukan hal itu, para aktor dituntut memikirkan sebuah momen dalam hidup mereka sendiri ketika mereka merasakan emosi yang diinginkan dan kemudian memainkan kembali emosi tersebut di dalam peran guna mencapai penampilan yang lebih sungguh-sungguh (Yudiaryani. Panggung Teater Dunia, 2002;244).

Metode ini mengembangkan sebuah pendekatan sistematis terhadap pelatihan para aktor untuk mengembangkan dari dalam dirinya ke luar. Constantin Stanislavsky, memusatkan diri pada pelatihan akting dengan pencarian laku secara psikologis untuk menemukan akting realis yang mampu meyakinkan penonton bahwa apa yang dilakukan aktor adalah akting yang sebenarnya.

Aktor yang baik Menurut Stanislavky, adalah aktor yang mempunyai fisik prima, fleksibel, mampu mengobservasi kehidupan, menguasai kekuatan psikisnya, mampu berkonsentrasi pada imaji, pada suasana, pada intensitas panggung, serta aktor harus bersedia bekerja secara terus menerus dan serius mendalami pelatihan demi kesempurnaan diri. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut nampak bahwa Stanislavsky menitikberatkan pada masalah tubuh dan pikiran aktor, body mind, untuk mewadahi psikologis aktor dan karakter naskah. (Shomit Mitter. Sistem Pelatihan Lakon, 2002;6)

Teknik penyutradaraan Countantin Stanilavsky digunakan sutradara untuk mempersiapkan pemeran yang berkualitas. Maka, untuk mengolah potensi dasar masing-masing pemeran agar siap menghadapi dan menyikapi peran yang yang terdapat dalam lakon. Penulis berpendapat bahwa pemeran yang mampu membawakan peran dengan hidup, untuk kesatuan pertunjukan akan terasa mudah dicapai. Sebab kewajiban seorang pemeran tidak hanya pentas diatas panggung menurut perintah sutradara, namun seorang pemeran juga berhak berkarya dalam batasan yang telah disepakati dengan sutradara. Peristiwa tersebut akan lebih menghidupkan proses kreatif.

Pembentukan pengolahan psikologi masing-masing pemeran untuk mencapai psikologi peran yang dimainkan. Kekuatan sukma menjadi titi awal dalam menciptakan peran, kemudian berkembang pada pembentukan tubuh, vokal, pikiran dan elemen yang lain. Memahami psikologi peran dalam naskah untuk diolah, sehingga menyatu dengan setiap pemeran yang memunculkan gagasan dalam mendukung memainkan peran. Kemudian setiap pemeran memilih bentuk peran sesuai dengan kapasitas tubuhnya masing-masing. Dari sinilah timbul pengolahan aspek psikologi, fisiologi dan sosiologi untuk mencapai target pemeranan. pada proses ini setiap pemeran dituntut sadar diri untuk memahami kapasitas dirinya masing-masing kemudian diolah secara intens.

Teknik Suyatna Anirun

Pendekatan atau acuan yang digunakan oleh Suyatna Anirun manjalankan teknik penyutradaraan meliputi : 1) teknik penyiasatan medan, 2) Teknik perancangan produksi (Anirun, Menjadi Sutradara; 88-99).

Penulis (sutradara) menggunakan teknik penyutradaraan Suyana Anirun untuk memperhitungkan segala kemungkinan baik posiif maupun negatif yang terjadi ketika proses kreatif berlangsung. Setelah memilih naskah, teknik penyiasatan medan digunakan untuk memaksimalkan proses kreatif yang berhubungan kondisi dan situasi sekitar area proses berlangsung. Sebab, pada setiap kondisi mempunyai kondisi dan situasi yang berbeda pula. Oleh karena itu seorang sutradara harus mampu membaca keadaan di sekitarnya agar proses kreatif berjalan lancar. Teknik ini juga digunakan untuk memaksimal lingkungan yang di jadikan sebagai sarana proses kreatif. Jika pelaksanaan proses kreatif tidak mampu memaksimalkan lingkungan yang tersedia, maka akan terjadi pembengkakan atau keterlambatan dalam mencapai target.

Teknik perancangan produksi digunakan untuk menentukan target pada pemeran maupun tim kreatif lainnya dalam sebuah proses kreatif. Pada teknik ini estimasi waktu akan sangat mempengaruhi tercapai kesuksesan sebuah pertunjukan. Sutradara haruslah mampu menangkap pesan dan tema naskah tersebut, nada dan suasana drama secara menyeluruh juga harus dipahami. Untuk menjadi seorang sutradara, seorang harus mempersiapkan diri melalui latihan yang cukup serius, memahami akting dan memahami cara melatih akting dan memahami seluk beluk perwatakan sebagai dimensi dalam diri seorang peran. Juga memahami unsur penunjang yang berpengaruh pada pertunjukan tersebut.

Mempersiapkan calon aktor secara seksama dapat dilakukan sebelum casting ditentukan, sutradara harus mempertimbangkan secara matang dan dewasa, dari berbagai segi tentang penunjukan aktor atau aktris. Di samping menyesuaikan dengan karakternya, baik secara psikologis, sosiologis maupun fisiologis, faktor kecerdasan, kemudian latihan dan faktor kepribadian setiap individu harus mendapat perhatian.

Untuk suatu naskah tertentu, sutradara dengan kondisi pemain yang dipilih, dapat memperkirakan beberapa kali latihan yang dibutuhkan. Dengan demikian, dapat dibuat time-schedule yang terperinci. Jika waktu pementasan sudah ditentukan, maka time-schedule ini dapat lebih bersifat pasti.

Dalam pencapaian unsur artistik lainnya, sutradara harus membuat target waktu serta mempertimbangkan segala kelemahan dan kelebihan dalam menghadirkan bentuk artistik panggung. Pertimbangan tersebut berguna untuk mengatur waktu, sumber daya manusia, pendanaan dan kebutuhan yang diminta pada lakon sehingga dapat di kelolah dengan baik. Pada akhirnya antara pemeran, kru teknik, sutradara dan tim produksi dapat berjalan kondusif sesuai rencana dan target pencapaian nantinya.

Teknik Rendra

Dalam bukunya Seni Drama Untuk Remaja (2007;32-60), Rendra menulis bahwa fokus materi pada teknik penyutradaraan antara lain ;1) Teknik muncul, 2) teknik memberi isi. 3) Teknik Pengembangan. 4) Teknik membina puncak. 5) Teknik timing. 6) Takaran dalam permainan. 7) Tempo permainan. 8) irama permainan. 9) sikap badan dan gerak yakin.

Teori-teori di atas berguna untuk menentukan nada dasar, mencapai mise en scene, membentuk dinamika pertunjukan, mencapai keutuhan pertunjukan dan kedetailan pertunjukan. Untuk mencapi target pertunjukan yang hidup dan komunikatif, maka dari itu unsur di atas harus tergarap dengan maksimal. Dinamika, keutuhan dan kedetailan menjadi kekuatan teater realis, sebab teater realis adalah pertunjukan yang merepresentasikan kejadian sehari-hari dalam masyarakat dengan memperhatikan kaidah-kaidah teori penciptaan pertunjukan (dramaturgi).

Beberapa teknik penyutradaraan di atas sudah memenuhi strandarisasi dalam penciptaan pementasan, khususnya lakon Leng. Tapi sutradara memulai teknik penyutradaraannya dengan beberapa persiapan-persiapan khusus, yaitu ; persiapan mental dan fisik baik sutradara maupun aktor. 1) Persiapan mental adalah keharusan untuk mencurahkan fikiran, perasaan dan sebagian kehidupan pada dunia panggung. Dimana pemeran harus ikhlas, serius dan fokus untuk bekerja serta berlatih secara intensif guna mendalami perannya demi kesempurnaan diri. 2) Persiapan fisik, selain pengolahan fisik/tubuh, seorang aktor dituntut untuk mempersiapkannya terlebih dahulu. Fisik setiap individu mempunyai kapasitas yang berbeda-beda. Kebutuhan pada lakon pun berbeda-beda pula menurut perannya. Berpijak dari persoalan di atas, setiap pemeran harus memahami kapasitas tubuhnya masing-masing kemudian dipersiapkan guna menyikapi peran yang dimainkan serta pengembangannya. Dengan kata lain kedua persiapan tersebut adalah loyalitas dan totalitas yang tinggi untuk memasukkan diri pada peran yang harus dibawakan dengan menggunakan segala yang ada pada dirinya.

Konsep Garap Penciptaan Léng (Oleh: Dicky Panca Aulia)

Lakon Leng memiliki karakteristik cerminan dari realitas sosial masyarakat miskin yang terjadi di tengah-tengah lingkungan modern. Berdasarkan analisa judul Leng berarti lubang persembunyian hewan, lakon ini menceritakan tentang pengorbanan secara paksa di pihak rakyat kecil untuk kepentingan segelintir kelompok ”elit” yang mengatasnamakan “pembangunan”, juga tentang rusaknya lingkungan hidup yang digambarkan dengan makam leluhur yang menjadi identitas masyarakat serta sarana dalam mempertahankan hidup (makam menjadi tempat bekerja) direbut untuk di kuasai segelintir kelompok “elit”.

Kehadiran makam pada teks tersebut memunculkan argumentasi bahwa arus modernisasi tidak hanya menerpa orang-orang yang hidup saja, melainkan orang mati, orang yang berada didalam leng bersama hewan-hewan tanah pun juga ikut menjadi korban dari modernisasi tersebut.

Rangsang Awal Pada Proses Penggarapan Léng (Oleh: Dicky Panca Aulia)

Apa yang terjadi jika di suatu daerah dipenuhi industri (pabrik)? Itulah pertanyaan awal yang muncul dari pikiran penulis. Sebetulnya, semakin banyak pabrik semakin berkurang pula pengangguran. Namun di sisi lain, kebutuhan manusia tidak hanya pada nilai rupiah untuk mencukupi hidupnya, juga ada kebutuhan psikologi untuk menenangkan pikiran. Bahkan ada juga yang membutuhkan ketenangan batin.


Setelah penulis membaca lakon Leng, yang bercerita tentang makam leluhur yang akan dikuasai oleh instansi atas kepentingan industri. Kemudian muncul pertanyaan kembali, Apa yang terjadi jika semua makam leluhur dikuasai oleh industri (pabrik)? sedangkan makam leluhur menjadi identitas hampir setiap daerah di Indonesia sehingga menjadi sesuatu tempat yang sakral. Suatu sarana yang dirawat dan dihormati warga sekitar daerah setempat. Sebab pada zaman hidupnya, sosok leluhur itu banyak memberikan kontribusi pada masyarakat berupa pemikiran, keyakinan, ajaran, babat alas daerah atau yang lain. Bahkan pada beberapa kota di Jawa Timur, makam leluhur di sahkan menjadi suatu obyek wisata tepatnya obyek wisata religius. Paradigma yang terjadi pada masyarakat, dulu hingga sekarang bahwa “wong mati iso wenehi rejeki sing urip”, paradigma tersebut muncul karena di area makam-makam leluhur banyak pekerja wiraswasta yang mengadu nasib untuk mempertahankan hidupnya.

Menurut pertanyaan di atas muncul peristiwa yang menjadi analisa dan perkiraan penulis. Di tinjau dari ke-sakral-an obyek-obyek tersebut dan kuatnya mitos tradisi, hal yang mustahil untuk terjadi bisa saja terjadi. Misalnya, mungkin saja para roh marah akibat rumahnya dikuasai pribadi dan bukan untuk umum. Ketika makam tersebut di kuasai secara pribadi, maka peraturan untuk berkunjung ke makam pun akan terbatas pula, menurut kepentingan pribadi / intansi tersebut. Kenyamanan berkunjung terganggu, kebiasaan-kebiasaan warga dalam menyikapi makam tersebut perlahan luntur menjadi tersingkir. Orang-orang kecil yang mengadu nasib di sekitar makam tersebut. Akibat industrialisasi yang sangat pesat, perlahaMenghapus Format dari bidang pilihann melunturkan budaya dan kebiasaan masyarakat Jawa dalam menyikapi makam-makam leluhurnya.

Berangkat dari persoalan diatas, penulis berniat memproses lakon tersebut sebagai wujud peduli pada masyarakat pinggiran dan masyarakat yang dipinggirkan sebagai wacana dalam menghadapi realitas sosial.

Ringkasan Cerita Léng (Oleh: Dicky Panca Aulia)

Pada sebuah makam leluhur, dengan nama Makam Kyai Bakal yang terletak di desa Bakalan. Letak makam tersebut berdekatan dengan sebuah pabrik yang masih aktif berproduksi. Di area makam tersebut terdapat penghuni tetap, yang sudah lama tinggal di makam itu, yakni Pak Rebo sebagai juru kunci dan Mbok Senik yang bekerja sebagai tukang pijet. Bongkrek adalah warga daerah makam yang rumahnya tak jauh dari makam tersebut. Ada juga seorang pelacur yang bernama Kecik, serta Janaka, pemuda yang sedang menjalani lelaku/tapa semedi di makam tersebut. Sedangkan di pabrik, di dalam kantor direktur terdapat dua orang penghuni, yakni: Juragan yang sedang trauma berat yang ditemani abdinya yang bernama Bedor.

Suara pabrik setiap hari menderu, tidak ada merdunya sekali pun. Para warga yang berdomisili dan beraktivitas di daerah makam merasa terganggu. Sampai-sampai suara Pak Rebo saat membaca doa pun lenyap abis oleh deru suara mesin pabrik. Bongkrek mantan mandor pabrik tersebut sangat emosi melihat sikap pabrik yang tak tahu aturan. Hati Bongkrek sakit, Bongkrek tak kuasa menahan emosi, namun Mbok Senik selalu menasehati untuk menahan diri.

Di sela-sela keluh kesah warga di sekitar makam, di dalam kantor direktur, Juragan merasa ketakutan terhadap sekelilingnya. Seakan-akan banyak oarng yang akan membunuhnya, namun Bedor selalu setia menemani Juragan. Sosok Juragan sebagai direktur pabrik, memang mempunyai rencana untuk melebarkan area pabriknya. Tanah Bongkrek dan area makam tersebut menjadi sasaran utama untuk di kuasai dengan cara apapun, tapi tak semudah itu untuk mendapatkannya. Bongkrek dianggap salah satu lawan besar yang selalu menghalang-halangi rencananya.

Bongkrek begitu tegar dalam membela tanahnya meski nyawa menjadi taruhan. Bongkrek menjadi buronan antek-anteknya Juragan. Suatu saat, kesabaran Bongkrek habis. Tatkala istrinya minta cerai, kemudian tanahnya di jual oleh istrinya kepada pabrik untuk membeli obat anak meski begitu anaknya tak tertolong. Kemarahan Bongkrek semakin menjadi. Bermodal keberanian, Bongkrek pergi menuju pabrik dengan niat membunuh juragan. Pada saat itu pula keadaan pabrik sedang gawat, mesin pendinginnya macet, disusul ledakan yang mengakibatkan kebakaran. Kedatangan Bongkrek di pabrik di sambut dengan tembakan pistol dan akhirnya terjadi kebakaran. Bongkrek tertembak mati, pabrik terbakar habis. Selang beberapa waktu Juragan sudah bisa menguasai tanahnya Bongkrek dan area makam, rencana pelebaraan pabrik akan segera di laksanakan.